Masyarakat Pondok Karya Tolak Pendirian Gereja Kanaan, Proses Izin Dipertanyakan

News, Uncategorized2779 Dilihat

wahanainformasi.comTangerang – Pada 27 Agustus 2024, Ketua RW 01 Pondok Karya, H. Harun, memberikan pernyataan kepada Ketua RT 10, Abdul Fikri, terkait persetujuan atas pendirian Gereja Kanaan Jawa. Dalam pernyataannya, Bahrudin mengungkapkan bahwa ia telah menandatangani lembar pengesahan bersama Ketua RT, Lurah, dan Camat untuk pendirian gereja yang berlokasi di Jalan Utama 1, Kav No. 55, RT 03, RW 01, Pondok Karya. Alasan yang diberikan adalah bahwa warga RT 03, termasuk Ketua RT 03, telah menyetujui pembangunan tersebut.

Namun, informasi ini memicu keresahan di kalangan para ketua RT lainnya. Pada 3 September 2024, diadakan musyawarah oleh 10 ketua RT dan tokoh masyarakat, meskipun Ketua RW 01 dan RT 03 tidak hadir. Hasil musyawarah ini berupa petisi penolakan terhadap pendirian gereja. Alasan utama penolakan adalah kurangnya transparansi dalam proses persetujuan, terutama kepada tokoh masyarakat, ketua RT lainnya, serta tokoh agama, yang seharusnya mengikuti pedoman dalam SKB 2 Menteri.

Dari 14 RT yang ada, hanya dua RT yang menyetujui pendirian gereja, sedangkan 10 RT dan lebih dari 263 warga menolak, dengan pernyataan tertulis yang dibubuhi materai. RT 03 dituduh memiliki peran besar dalam pengumpulan tanda tangan warga untuk persetujuan gereja dengan alasan yang diduga menyesatkan.

Lurah Pondok Karya, Hendi, saat dikonfirmasi pada 29 Agustus 2024, hanya memberikan tanggapan singkat bahwa segala proses yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Sebelum masalah ini menyebar luas di media, Ketua GAMKI, Adi Saputra Simanullang, menyatakan bahwa seharusnya ada konfirmasi terlebih dahulu kepada RT 03 dan pihak terkait lainnya agar tidak terjadi kegaduhan di masyarakat. Menurut Abdul Fikri, wartawan dari media Cakratara, mereka awalnya enggan memberitakan masalah ini demi menjaga nama baik Pemerintah Tangerang Selatan, tetapi akhirnya mereka merasa perlu mempublikasikannya untuk mencegah konflik sosial di lingkungan.

Abdul Fikri, yang juga menjabat sebagai Ketua RT 10, menyampaikan masalah ini kepada Wali Kota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie, pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW pada 10 September 2024. Dalam percakapan tersebut, Fikri menyampaikan bahwa banyak RT menolak izin pendirian gereja, dan Benyamin menanggapi bahwa proses harus sesuai dengan aturan dan undang-undang, serta menyerahkannya kepada Kementerian Agama (Kemenag).

Ketua FKUB, Fachruddin, saat dikonfirmasi, mengungkapkan bahwa pihaknya belum menerima berkas warga yang setuju, tetapi telah menerima lembar persetujuan yang ditandatangani oleh RT, RW, Lurah, dan Camat. Fachruddin menambahkan bahwa jika Kemenag dan Wali Kota sudah menyetujui, FKUB tidak memiliki wewenang untuk menolak. Ia menjelaskan bahwa proses seharusnya diawali dengan persetujuan warga, yang kemudian diteruskan ke tingkatan yang lebih tinggi sesuai alur yang telah ditetapkan.

Kondisi ini menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat. Sebagai tanggapan, warga menyusun berkas penolakan yang akan diserahkan kepada Kemenag, dengan tembusan kepada Pemerintah Daerah Tangerang Selatan, Polres Tangerang Selatan, FKUB, Danramil, Camat Pondok Aren, Polsek, Lurah Pondok Karya, dan Dishub. Tujuannya agar masalah ini dapat diselesaikan secara bijak dan sesuai prosedur, untuk menghindari konflik sosial.

Hingga saat ini, belum ada penyelesaian dari pihak terkait, termasuk Kemenag, meskipun sudah ada serah terima berkas. Menurut keterangan dari pejabat Kemenag, H. Wawan, saat ini sedang terjadi pergantian kepala di Kemenag, sehingga proses penyelesaian masih tertunda.

Sekretaris Camat Pondok Aren saat dikonfirmasi juga menyatakan kesibukan sebagai alasan sulit ditemui, namun pihaknya telah menerima tembusan penolakan dari masyarakat dan berharap permasalahan ini dapat dipahami oleh semua pihak.

Masyarakat setempat bahkan melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan di lokasi pembangunan gereja di RW 01. Ketua RT 03 yang menyetujui pembangunan gereja menegaskan bahwa semua pihak berhak menolak maupun mendirikan gereja, dan keputusan akhir ada di Kemenag.

Ketua RT 09 yang awalnya menyetujui pembangunan gereja mengaku bahwa ia hanya menandatangani dokumen atas permintaan Ketua RT 03, karena lokasinya yang berdekatan, namun ia menegaskan bahwa hal tersebut sebatas “mengetahui” dan bukan persetujuan.

RW 01, saat dikonfirmasi, menyatakan bahwa masalah ini berada di luar ranah RT dan menjadi urusan FKUB. Namun, karena banyaknya warga yang menolak, RW 01 akhirnya ikut menandatangani petisi penolakan. Hingga kini, RW 01 belum mengadakan pertemuan resmi dengan seluruh RT dan tokoh masyarakat untuk membahas permasalahan ini.

Warga mengaku terkejut dan bingung mengapa pendirian gereja ini diajukan kembali, padahal sebelumnya telah ditolak tanpa adanya sosialisasi yang jelas. Tokoh masyarakat berharap ada musyawarah ulang agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara pihak-pihak yang terlibat, demi menjaga keharmonisan di lingkungan.

Tokoh agama setempat juga merasa kurang dihargai, mengingat sebelumnya penolakan telah dilakukan bersama masyarakat secara prosedural, namun sekarang diulang kembali.

KH. Idris Rosyadi menyatakan bahwa proses peninjauan ulang bisa ditempuh sesuai dengan persyaratan yang berlaku, terutama terkait administrasi dan persyaratan teknis bangunan sebagaimana diatur dalam SKB 2 Menteri. Masyarakat berharap agar pemerintah segera menyelesaikan masalah ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

 

(TimMedia/*Red)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *